Ketika tidak memiliki objek wisata, apa yang bisa dijual? Kunjungan kami ke Desa Wisata Tanon yang dibranding menjadi Desa Menari memberikan jawaban dari pertanyaan tadi. Memang sudah banyak yang melakukannya, tapi mendengar langsung? Ini pertama kalinya buat kami. Apakah kamu tertarik?
Sabtu pagi (12/10) kami bersama rombongan media dan bloger, serta komunitas fotografi hingga perhumas Semarang berangkat dari Semarang menuju Desa Wisata Tanon yang masih berada di Kabupaten Semarang.
Aktivitas kami di sana adalah menyaksikan Festival Lereng Telomoyo yang tahun ini merupakan tahun kedua selama acara ini dibuat. Ulasannya dapat dibuka di halaman sebelumnya, klik
di sini.
Kang Tris, Penggerak Desa Menari
Sesi makan siang menjadi momen perkenalan kami dan semua peserta rombongan. Beliau dipanggil Kang Tris oleh Mbak Regina yang mewakili Astra. Sempat heran bahwa panggilan Kang itu biasanya dari Jawa Barat, tapi orang-orang di sini pun lebih familiar dengan panggilan tersebut ketimbang Mas, yang biasa kami lakuin saat berkenalan.
Kang Tris yang tahun ini berusia 38 tahun mulai bercerita tentang apa itu Desa Menari. Dalam pengertiannya, Desa Menari adalah sebuah labolatorium sosial yang berfokus pada konservasi atau perberdayaan.
Mundur cerita ke belakang, Kang Tris sudah memimpikan perubahan Desa Tanon sejak tahun 2002 dengan membuat visi untuk mewujudkan masyarakat yang produktif, religius dan berbudaya. Waktu itu beliau masih duduk di bangku kuliah semester tiga.
Beliau adalah orang asli dari Desa Tanon yang pertama kali menyelesaikan kuliah. Lulus tahun 2005, beliau tidak tergiur untuk bekerja keluar, namun sebaliknya ia mendedikasikan ilmu yang didapat untuk desanya.
Balik ke Desa tahun 2006, beliau yang lulusan dari Fakultas Ekologi Universitas Muhammadiyah Surakarta langsung menjalankan niat pemberdayaannya dengan menyasar dua Kecamatan, yaitu Getasan dan Ampel.
Waktu itu fokusnya adalah peternakan, mengingat profesi masyakarat di sana adalah petani dan beternak. Niat beliau saat itu adalah untuk mengaplikasikan ilmu yang didapat dari kampus ke lini perternakan rakyat.
Berjalan selama 3 tahun, beliau memutuskan mengevaluasi kegiatannya pada tahun 2009. Menurut Kang Tris itu gagal, namun menurut masyarakat apa yang dilakukannya itu berhasil. Itu karena kegiatannya berhasil mendatangkan CSR, berhubungan dengan banyak perusahaan dan sebagainya.
Tapi sekali lagi, beliau menegaskan bahwa apa yang dilakukannya itu tidak sesuai dengan konsep yang diinginkan, yaitu membangun laboratorium sosial.
Sejak itu,
masih di tahun 2009, kembali menginisiasi untuk memulai kegiatan laboratorium sosial dengan mengkonservasi profesi asli masyarakat, yakni petani, berternak, plus dolanan tradisional dan kesenian lokal.
Salah satu alasan besar mengkonservasi profesi asli adalah kekhawatiran beliau terhadap profesi asli masyarakat yang tidak memiliki generasi di masa depan. Banyak anak muda yang jarang meneruskan profesi orang tuanya saat itu.
Untuk menyelesaikan permasalahan ini, akhirnya beliau mendapatkan cara agar anak muda tertarik balik ke desa untuk melanjutkan pekerjaan orang tuanya lewat pendekatan wisata.
"Wisata di sini adalah pintu masuk saja"
Ibarat rumah (Desa), salah satu pintu yang efektif dari yang dipelajari kegagalan di awal saat mencoba masuk ke jantung ekonomi masyarakat rupanya adalah wisata.
Dan akhirnya pada tahun 2012, banyak warga yang ikut bergabung dan berkomitmen untuk mengembangkan desa ini lebih terbuka dengan pendekatan wisata.
Karena wisata di sini berbeda dengan tempat-tempat lain, maka wisata di sini adalah wisata berbasis konservasi. Tidak ada objek wisata yang dibangun. Maka jangan heran, ketika tidak ada kunjungan di sini maka jadinya sepi.
Apa yang dijual ?
Seluruh aktivitas masyarakat, seperti bertani, beternak, dolanan tradisional dan aktivitas lainnya hingga membangun pasar rakyat.
Berproses dari itu, secara bertahap dari apa yang dilakukan dengan pendekatan wisata, masyarakat mengalami perubahan. Pemilihan wisata yang dilakukan beliau memiliki karakter sifat ke dalam dan ke luar.
Ke dalam itu memberikan pemasukan, kemudian membuka akses wawasan masyarakat, sehingga masyarakat dapat berinteraksi dengan orang-orang luar. Wawasannya berubah dan berkembang. Tetapi tetap dengan berharap mengkonservasi aktivitas masyarakat lokal.
Makanya paket wisata yang ditawarkan di sini adalah paket aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat sehari-hari. Dan ini terus berjalan. Bila sebelumnya tentang karakter sifat ke dalam, maka sifat ke luarnya adalah bisa mempromosikan.
Saat kami menelusuri mesin pencari, kami tiba di website
desawisatatanon.com. Di sana sudah ada banyak paket wisata yang dibuat. Seperti paket wisata dolanan tradisional, outbound ndeso, wisata pembelajaran gamelan, wisata wirausaha, homestay dan masih banyak lagi.
Panggung apresiasi
Momen saat pembukaan acara Festival Lereng Telomoyo 2019
Konservasi berikutnya adalah menyasar dolanan tradisional dan kesenial lokal. Banyak sekali kesenian lokal yang ada di negara kita, terutama di daerah menurut beliau. Tapi malah mati suri. Ini dikarenakan kurangnya panggung apresiasi yang berdampak seniman-seniman lokal mengamen di perempatan jalan.
Maka kegiatan Desa Wisata ini dalam rangka konservasi dan memberikan panggung apresiasi bagi kesenian lokal untuk tumbuh berkembang dan akhirnya, mereka melestarikan dengan cara mereka sendiri. Itu adalah cara mereka untuk ikut memajukan bumi pertiwi.
Selain lagu Indonesia Raya, lagu kebanggaan kita di sini adalah lagu desaku. Kita mengajak orang untuk mencintai desa dan tanah kelahiran. Ini sama saja kita juga mengabdi pada bumi pertiwi.
Tanon yang awalnya tidak dikenal
Singkat cerita dari apa yang sudah dilakukan ini, Desa Tanon yang awalnya tidak dikenal dan didengar pihak luar, '
tahun 2012 suprise buat kami desa kita bisa dikunjungi sekitar 2600 pengunjung.
Itu di luar logika kita saat itu'
Hingga sekarang, rata-rata pengunjung berkisar 1500 hingga 3000. Naik turun pengunjung. Bukan keramaian yang dicari, tapi bagaimana nilai atau value yang dibangun masyarakat bisa tumbuh dan berkembang.
Sampai akhirnya kegiatan terus berproses, ternyata Astra ada program Indonesia Award dan beliau menjadi salah satu penerima apresiasi tersebut dengan kategori lingkungan di tahun yang sama (2012).
"Apa yang saya lakukan dengan konservasi profesi asli masyarakat, mengkonservasi dolanan tradisional diapresiasi masuk kategori lingkungan untuk pengembangan masyarakat."
Tahun 2015 akhir, tim Astra datang ke desa untuk
follow up lebih lanjut apa yang sudah dilakukan. Dan tahun 2016, beliau menerima Satu Indonesia Award sebagai pengelola Kampung Berseri Astra (KBA) yang pertama kali.
Dan KBA di sini adalah Kampung Berseri Astra yang pertama di Jawa Tengah. Secara Nasional terdaftar sebagai KBA yang ke-27 secara Nasional.
Setelah berkembang dengan KBA, tidak hanya pendekatan wisata saja yang dilakukan, tapi selaras dengan program Astra yang bergerak di 4 pilar, pendidikan, kesehatan, wirausaha dan lingkungan.
Untuk pendidikan, kegiatan yang dilakukan dengan cara memberikan pendidikan non formal. Bagaimana masyarakat sering diajak diskusi dengan tema-tema tertentu. Bila background ini dibuka, ini adalah background Sekolah Jawa Tengah.
Selain itu ada pemberian beasiswa dari Astra kepada 36 anak mulai dari tingka SD hingga Perguruan Tinggi. '
Ini bagi kami sangat luar biasa'.
Dengan memberikan pendidikan non formal, masyarakat diajari bagaimana belajar berbicara, pertanian. Untuk pilar kesehatan, dengan dukungan alat dari Astra, warga diperiksa kesehatan secara cuma-cuma. Bahkan dengan metode jemput bola, tidak hanya siang hari, tapi juga malam hari. Dan bermitra dengan Puskesmas disekitar.
Sedangkan pilar wirasusaha berasal dari paket-paket wisata yang sudah dibuat, termasuk membuat pasar rakyat. Tiap ada kunjungan, pasar rakyat digelar di sini.
Terakhir, pilar lingkungan. Seperti pengaturan zonasi, perbaikan homestay yang saat ini berjumlah sekitar 20, konservasi mata air yang bisa dimanfaatkan masyarakat.
Harapan kedepan dari laboratorium sosial
Dengan program Astra ini dan bantuan stakeholder lain, ternyata membantu mempercepat pengembangan desa wisata. Meski begitu, beliau tetap berfokus pada konsep laboratorium sosial.
Harapan dari laboratorium sosial adalah dengan hal-hal yang dilakukan dengan cara sederhana ini yang bisa menyentuh secara nyata tapi tanpa meninggalkan kearifan lokal bisa diikuti tempat-tempat lain.
Filosofi tangan di atas
Ketika awal-awal program ini berjalan, warga pasti bertanya bagaimana memulai perubahan, bagaimana mendapatkan dana sebelum didukung Astra.
Kang Tris selalu menyampaikan bahwa tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Berkarya lebih baik daripada meminta. '
Itu terus yang kami lakukan'.
Modal awal gerakan ini berjalan adalah 200 ribu rupiah. Dan setelah itu beliau simpulkan bahwa yang dibutuhkan di tempat kami adalah hal-hal yang berhubungan dengan kearifan lokal.
Keseimbangan hidup
Kemajuan teknologi dan informasi yang sangat pesat saat ini tidak bisa utuh. Dan itulah tugas kami untuk membangun keselarasan. Caranya adalah membalut dan memadukan teknologi dan informasi dengan kearifan lokal dan spiritualitas dan inilah yang dinamakan keseimbang hidup.
Maka dari itu, kami (masyarakat) menyiapkan diri menjadi oase atau tempat. Orang-orang yang penat dengan teknologi bisa datang ke desa dan bernostalgia, harmoni dan keselarasan.
'Lihatlah hal-hal yang sangat sederhana dari diri kita, lingkungan kita dari sudut pandang yang berbeda, lakukan dengan pendekatan berbeda, nikmati prosesnya dan yakin hasilnya pasti berbeda,' Kang Trisno
...
Satu Indonesia Award adalah apresiasi yang diberikan Astra kepada anak muda yang berkontribusi kepada lingkungannya dengan maksimal usia 35 tahun. Kebenaran Kang Tris menjadi salah satu penerima award dengan kategori lingkungan.
Desa wisata Tanon atau Desa Menari alamatnya berada di Dusun Tanon, Ngrawan, Getasan, Kabupaten Semarang Jawa Tengah. Nama Desa Menari sendiri merupakan akronim, yaitu Menebar harmoni, merajut Inspirasi dan menuai memori.
Foto terakhir itu bagus banget kak 😁
ReplyDeleteHaha... iya bagus. Anda ada di sana sepertinya :)
Delete