🎆 Agenda Kota Semarang Bulan Desember 2025
Semarang selalu punya cara unik untuk bercerita. Di tengah hiruk-pikuk Jalan Kartini yang tak pernah sepi, di antara deru mesin motor dan aroma khas pasar tradisional, terselip sebuah pemandangan yang seolah menghentikan waktu. Sebuah kios kecil dengan pintu besi berwarna biru langit, berdiri tegak tepat di depan Pasar Langgar.
Mungkin bagi banyak orang, ini hanyalah kios biasa. Namun bagi kami, ini adalah sebuah monumen kesetiaan.
Di zaman di mana berita berpindah secepat jempol menyentuh layar, melihat kios koran yang masih buka adalah sebuah kemewahan. Saat media cetak bertumbangan, kios di Jalan Kartini No. 20 ini tetap setia menyediakan lembaran-lembaran kertas yang masih berbau tinta segar.
Ini bukan sekadar tempat transaksi uang dan kertas, tapi tempat di mana tradisi "membaca fisik" masih dirayakan.
Jika Anda berdiri sejenak di sana, Anda akan melihat sebuah ekosistem sosial yang menarik. Kami sempat mengamati bagaimana loper koran menata dagangannya, tukang becak yang mampir untuk sekadar melihat headline, hingga pelanggan setia yang sudah berlangganan selama puluhan tahun.
Kios ini adalah titik temu. Di sinilah isu-isu kota didiskusikan secara jujur di pinggir jalan, tanpa filter, dan tanpa sekat. Hal-hal seperti ini yang sering kali luput dari narasi besar pembangunan kota, namun justru menjadi denyut nadi kehidupan warga yang paling asli.
Kadang, sebagai blogger, kami terlalu sibuk mencari acara-acara besar atau undangan resmi pemerintah untuk dijadikan konten. Namun, perjalanan ke Jalan Kartini mengingatkan satu hal: cerita paling jujur justru ada di trotoar.
Kios koran ini adalah saksi bisu sejarah Semarang Timur. Ia bertahan bukan karena sokongan modal besar, tapi karena kepercayaan dari masyarakat sekitar—terutama ekosistem Pasar Langgar yang masih memegang teguh nilai-nilai lama.
Jika Anda kebetulan lewat di Jalan Kartini, cobalah menepi sejenak. Belilah satu eksemplar koran atau majalah. Bukan hanya untuk mendapatkan informasi, tapi untuk memastikan bahwa "nyawa" dari kios-kios bersejarah seperti ini tetap ada.
Sebab, jika kios ini hilang, kita tidak hanya kehilangan tempat membeli kertas, tapi kita kehilangan satu lagi bagian dari identitas kota Semarang yang otentik.
Artikel terkait :
Comments
Post a Comment