Kampung Melayu Semarang identik dengan Masjid Layur atau Menara. Rasanya sudah beberapa kali kami ke kawasan ini, apalagi sekarang sedang ada pengerjaan proyek yang tujuannya mengarahkan kawasan menjadi wisata heritage Semarang Lama.
Masih satu paket dengan tur sebelumnya di Pecinan atau ke Pabrik Rokok Praoe Lajar, kami kembali berpartisipasi dengan teman-teman pemandu wisata Kota Semarang yang tergabung dalam HPI.
Tur kali ini lebih jauh dan beragam dari sebelumnya. Apalagi perjalanan kami dimulai dari Kota Lama, melewati jalur kereta api, sungai (kali) dan bagian penting tujuan utamanya, kampung Melayu.
Kampung Melayu
Kawasan seluas 39,42 ha dengan administrasi Kelurahan Dadapsari mirip-mirip seperti kawasan Kota Lama yang memiliki banyak cerita sejarah.
Sayangnya, kawasan Kampung Melayu belum sebagus Kota Lama meski jadi salah satu kampung tertua di Kota Semarang.
Sejarahnya sudah banyak ditulis dan mudah dicari lewat mesin pencari. Tentu, kampung ini juga punya cerita yang berhubungan dengan zaman Belanda.
Salah satu peninggalan yang masih berdiri dan menjadi simbol adalah Masjid Layur atau Menara. Usianya yang sudah ratusan tahun merupakan perpaduan 3 budaya kental. Ada Arab, Jawa dan Melayu.
Spot banguna tua Semarang
Perjalanan dipandu Mas Arry yang selalu kami ceritakan setiap artikel sebagai storytelling. Setelah menyeberang dari perlintasan Kereta Api yang berada di jalan Empu Tantular, langkah kami menuju jalan Bandarharjo Selatan.
Dua gedung tua yang masih kokoh berdiri di kiri dan kanan jalan jadi mula kisah perjalanan sejarah kami dimulai. Eh, belum masuk kampung melayu kan?
Salah satu bangunan tua yang kami kembali datangi,
karena pernah mampir, adalah Gedung Vereenigde Javasche Houthandel Maatschappij yang sudah ada sejak 1911. Sejarah singkat gedung ini dan bagaimana isi dalamnya, sudah kami posting
di sini. Intip saja artikel yang sudah dipublish sejak bulan Agustus 2021 tersebut.
Mengunjungi gedung kali ini terasa tamu vip. Ya, kami bisa mengintip
bagian belakang yang ternyata ada tempat tinggal. Konon dulu ini adalah mess dan sampai sekarang tetap ada yang tinggal.
Kali Semarang
Langkah kami berlanjut menuju Kampung Melayu. Ternyata jalan yang kami lewati dengan pemandangan sungai memiliki sejarahnya juga pada waktu dulu.
Meski gerimis jadi teman yang buat tidak asyik, peserta tetap bersemangat mendengarkan cerita dibalik kehadiran kali Semarang ini yang menjadi titik utama di Kota Semarang.
Kampung Melayu yang sedang direvitalisasi
Tidak seperti biasanya kami mengakses jalan menuju Masjid Layur, kali ini dari belakang dan ini pertama kalinya kami pergi lewat sini. Banyak juga cerita dari sini, terutama sisi bangunan Masjid Layur. Rasanya jika tur ke kampung Melayu memang tidak boleh ketinggalan ikonnya ini.
Akhirnya tiba juga di jalan yang biasa kami lewati, namun kami baru tahu jika di jalan utama depan Masjid sedang ada pengerjaan. Meski begitu, tidak menyurutkan peserta untuk masuk area Masjid.
Cerita
sejarah Masjid Layur juga sudah banyak, jadi tidak kami bawa kali ini ke dalam halaman ini. Apalagi saat bulan puasa, kami sangat suka ke sini untuk mencicipi
kopi Arabnya.
Perjalanan kita berakhir di gedung yang meski sudah masuk bangunan Cagar Budaya, keadaannya termasuk mengkhawatirkan, yakni Studio Seni Foto Gerak Cepat.
Bila biasanya hanya sekedar lewat, kali ini kami bisa masuk. Namanya juga dengan banyak orang, dan diperbolehkan ternyata, ya sudah masuk juga. Suasananya bisa dilihat gambar Instagram di atas.
...
Selesai sudah perjalanan kali ini yang rasanya sangat sukar diceritakan hanya dalam satu halaman. Terlalu banyak sampai bingung dan juga lupa.
Nanti kami ceritakan satu-satu bila sempat, duh. Bila ingin mendapatkan pengalaman tur seperti ini kamu bisa hubungi teman-teman pemandu Kota Semarang atau akses ke Mas Arry langsung
di sini.
Jika penasaran dengan perjalanan ini, stories higlights kami masih tersedia di Instagram. Buka
di sini untuk langsung menuju postingan.
Artikel terkait :
Comments
Post a Comment